Oleh: Himawan Teguh Pambudi (alumnus Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang)
“Lagi aku melihat segala penindasan yang terjadi di bawah matahari, dan lihatlah, air mata orang-orang yang ditindas dan tak ada yang menghibur mereka, karena di pihak orang-orang yang menindas ada kekuasaan” (Pengkhotbah. 4:1)
Tulisan ini adalah sebuah pemantik diskusi, oleh karena itu tidak dimaksudkan untuk menjelaskan semua pokok persoalan terkait dengan ‘konflik agraria atau konflik ruang hidup.’ Tulisan ini bertujuan untuk menggali pokok-pokok iman Kristen melalui sikap dan ajaran Yesus di dalam permasalahan keadilan ruang hidup, khususnya pada konteks Yudaisme Abad Pertama. Pada akhirnya, tulisan ini mendorong peserta diskusi untuk memikirkan aksi konktrit di masa kini sebagai laku hidup murid Kristus.
Apa yang dimaksud dengan keadilan ruang hidup?
Ruang hidup adalah habitat, ekosistem, lingkungan tempat masyarakat tinggal. Berbicara tentang ruang hidup berarti terkait dengan pemakaian serta pemanfaataan sumber daya alam, yaitu air, tanah, udara. Namun, segala sesuatu yang ‘material’ tersebut, juga tidak terpisahkan dengan interaksi sosial yang ada di dalam ruang hidup tersebut. Baik material mau pun interaksi sosial adalah dimensi yang mewujudkan ruang hidup.
Maka, berbicara tentang ‘keadilan ruang hidup’ berarti membicarakan persamaan sesuai hak dan kewajiban, kesetaraan akses di dalam pemanfaatan habitat, ekosistem dan lingkungan.
Karena ruang hidup terkait dengan hal yang materiil juga interaksi sosial-kultural, sebenarnya keadilan ruang hidup mempunyai cakupan yang luas sekali: keadilan di dalam akses pendidikan-kesehatan, keadilan di dalam tata ruang kota, keadilan agraria/tanah, keadilan hidup beragama, dll. Satu dan yang lain saling terkait tidak terpisahkan, misalnya tanpa adanya keadilan di dalam interaksi sosial, sulit mewujudkan keadilan lingkungan hidup.
Lalu, Adakah ketidakadilan ruang hidup di masa Yesus?
Jika kita berbicara, problem keruangan dimana-mana adalah problem yang terkait dengan kondisi sosial-ekonomi, oleh karena itu kita melihat dulu konteks kehidupan Yesus:
- Masyarakat Kelas. Palestina abad pertama, menurut para ahli sejarah, memiliki kaum elit, yakni mereka yang kaya dan menguasai tanah, yang kebanyakannya terdiri dari keturunan para raja dan keluarga bangsawan merepresentasikan 1% dari populasi teratas. Bergerak ke bawah adalah kelas pelayan/pegawai: para pemungut pajak, polisi, ahli taurat, imam, dsb (9%). Mayoritas populasi, tiga dari empat orang, terdiri dari pedagang; para seniman yang tidak memiliki kekayaan; dan para petani serta nelayan-kampung. Selebihnya adalah mereka yang tidak tersentuh (15%) yaitu mereka yang lumpu, para pelacur, anak-anak petani miskin yang bekerja sebagai buruh atau pengemis, budak yang melarikan diri. Mereka yang miskin hanya mampu membeli roti dan ikan, yang dikeringkan atau diasinkan, yang merupakan makanan pokok bagi warga kelas bawah. Bahkan ada stereotipe, jika seorang miskin memiliki ikan segar, pasti orang tersebut adalah pencuri.
- Eksploitasi Pajak. Dalam dunia Palestina abad pertama, terdapat tiga jenis pajak yang dibebankan. Pertama, yakni pajak tanah, dimana setiap pemilik atau pekerja tanah diharuskan menyetor sepersepuluh persen dari produksi tanah tersebut kepada pemerintah Roma. Kemudian, pajak perkepala, yakni setiap rakyat yang terhitung di dalam sensus penduduk diwajibkan membayar sebesar 1 dinar kepada pemerintah. Selain itu, masih ada pajak yang dibebankan kepada rakyat ketika keluar-masuk kota, jumlahnya bervariasi. Di samping pajak yang dibebankan kepada masyarakat umum yang harus diserahkan kepada pemerintah Roma, bagi orang Yahudi sendiri terdapat beban yang lain, yakni pajak bait suci. Objek pajak bait suci ini adalah orang lelaki Yahudi yang berumur duapuluh tahun ke atas. Jumlah pajak ini adalah setengah shekel perak. Pajak ini dipakai untuk perawatan Bait suci. Namun pada perkembangannya banyak korupsi terjadi disana-sini dan pajak bait suci ini pun dipakai sebagai keuntungan bagi pemegang otoritas religius waktu itu. Dengan tuntutan pajak yang berlipat-lipat, dapat kita lihat betapa menderitanya hidup sebagai masyarakat kelas bawah di dalam konteks Palestina abad pertama. Seorang pekerja di dalam kalkulasinya ternyata harus menyumbangkan 35% dari hasil pekerjaannya. Beban masyarakat kelas bawah semakin bertambah ketika mereka juga diwarnai ketergantungan terhadap utangpiutang yang juga marak dilakukan oleh rentenir pada waktu itu.
- Pemisahan-pemisahan relasi dalam masyarakat. Pada saat itu, konflik horizontal terjadi diakibatkan pemisahan-pemisahan relasi dalam masyarakat melalui adanya kelompok-kelompok masyrakat yang tidak harmonis. Misalnya, Yahudi-Yunani, Yahudi-Samaria, Orang Sehat-Orang Kusta, Orang beragama-Orang berdosa, Ahli Taurat-Pemungut Cukai dst. Adanya pengelompokan-pengelompokan ini mengakibatkan praktik ketidakadilan ruang hidup terjadi. Jangan lupa bahwa konflik horizontal seringkali menjadi alat imperium untuk menghancurkan perlawanan terhadap imperium. Dari konteks historis tersebut kita melihat bahwa ada situasi-situasi di dalam masyarakat yang mengizinkan terjadinya ketidakadilan ruang hidup, baik dari aspek ekonomi, sosial, juga soal tanah. Sejarah Israel adalah sejarah konflik, Yesus dibesarkan dalam konteks sosial-politis seperti itu, lalu?
Apa saja, yang dilakukan Yesus di dalam menyikapi keadilan ruang hidup pada masa-Nya?
- Di dalam interaksi sosial, Yesus mengubah perspektif kami-mereka, menjadi kita. Kata ganti orang “kami” mengasumsikan kepemilikan. Bagian dari sebuah keseluruhan. Lebih khusus lagi, “kami” adalah orang-orang dalam. Kata “kami” juga mengandaikan keberadaan kelompok lain. Mereka yang tidak termasuk dalam kelompok kami. Mereka. Orang luar. Imperium, dibangun di atas keistimewaan, kuasa, kepemilikan dan komodifikasi (mengubah atau memperlakukan sesuatu sebagai komoditas) memisahkan dan menaklukkan orang-orang. Imperium menciptakan “kami” dan “mereka.” Dalam Lukas 4, menghadirkan kedua kelompok dan menawarkan sebuah alternatif. Apa yang dideklarasikan oleh Yesus menurut Lukas dalam ayat 25-27 sebenarnya sedang memproklamasikan sebuah alternatif atas Kerajaan Kaisar, “Dalam Kerajaan Allah, tidak ada ‘kami,’ tidak ada ‘mereka.’ Hanya ada ‘kita semua.’” Yesus menantang ide tentang “kami” untuk memasukkan “mereka.” Bagi Yesus, hanya ada “kita semua.” Jika Allah adalah orang tua kita, maka kita, kita semua, adalah anak-anak Allah. Kita semua adalah saudara perempuan dan lakilaki kepada satu sama lainnya. Tidak hanya dengan orang Nazaret. Tidak hanya dengan orang Galilea. Ketika periode nabi Elia, ketika kekeringan dan kelaparan melanda tanah, ada banyak janda di Israel, tetapi Allah mengirim Elia kepada seorang janda di Sarfat di Sidon. Ketika zaman nabi Elisa, terdapat juga banyak orang yang sakit kusta di Israel, namun tidak ada satu pun dari mereka yang disembuhkan kecuali Namaan orang Siria itu. Bagi Yesus, anak-anak Allah termasuk janda di Sarfat di Sidon dan Naaman orang Siria itu. Untuk menegaskan kembali, bagi Yesus, mereka yang miskin, yang tertawan, yang buta, yang tertindas dan setiap orang yang menanti datangnya tahun rahmat Tuhan tidak hanya “kami” orang Israel tetapi juga “mereka,” bangsa-bangsa lain, yang miskin, yang tertawan, yang buta, yang tertindas dan setiap orang yang menanti datangnya tahun rahmat Tuhan. Dengan demikian, yobel tidak hanya untuk “kami” tetapi juga untuk “mereka,” dan dengan demikian juga untuk “kita semua.” Kita bisa melihat tindakan Yesus ini di sepanjang Injil: gembala, kusta, Samaria dll.
- Melalui tindakan-Nya, Yesus menjadi suara kenabian untuk membela kaum yang mengalami ketidakadilan. Pada Yohanes 8 ketika ahli Taurat dan orang Farisi membawa perempuan yang kedapatan berbuat zinah (ingat pemisahan pada kelompok masyarakat!), ahli Taurat dan orang Farisi ‘menjebak’ Yesus supaya Yesus turut menghukum orang berzinah itu. Namun malahan, Yesus berkata: “Barangsiapa diantara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Kita membaca bahwa Yesus membela perempuan ini, bahkan di dalam banyak kisah Yesus menyembuhkan dan memulihkan para korban ketidakadilan: orang sakit kusta, pemungut cukai dll.
- Sebagai alat transformatif, Yesus membangun komunitas-komunitas alternatif yang mempraktikkan nilai-nilai Kerajaan Allah. Jawaban Yesus terhadap ketidakadilan sosial yang melanda jaman-Nya, pertama-tama adalah membentuk komunitas pengampunan. Lalu komunitas yang egaliter, inilah visi yang ditangkap Rasul Paulus sehingga ia dapat menuliskan: “Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.” (Galatia 3:28). Terakhir, Komunitas saling berbagi-saling memiliki, Yesus membangun komunitas-Nya sebagai komunitas yang saling berbagi dan saling memiliki. Ini semua karena efek langsung dari ‘pengampunan’ yang Yesus berikan. Perhatikan narasi pertobatan Zakheus dalam Lukas 19:1-10. Sontak setelah mendapatkan penerimaan dari Yesus, Zakheus pun dengan berani memberikan apa yang ia miliki bagi orang-orang yang tertindas. Perhatikan pula, apa yang Yesus katakan kepada anak muda yang kaya: “Bagikanlah hartamu kepada orang-orang miskin.” Bagi Yesus, mereka yang masuk ke dalam komunitas alternatif-Nya tidak lagi hidup bagi diri sendiri, tapi hidup bagi sebuah komunitas, hidup bersama, hidup yang saling berbagi dan saling memiliki. Hidup yang segala sesuatunya bukan lagi untuk diri sendiri, namun bagi Allah, dan bagi komunitas yang sama-sama telah merasakan pengampunan dari Allah.
- Kematian Yesus menginspirasi perjuangan melawan ketidakadilan. Kematian Yesus memang untuk mendamaikan Allah dengan manusia. Tetapi jika kita menempatkan kematian Yesus dalam konteks sosial serta ketidakadilan ruang hidup, kita akan menemukan bahwa kematian Yesus membukakan mata kita betapa bobroknya Imperialisme Romawi. Tabir Bait Suci yang terbelah dua memperlihatkan bahwa Allah berada di tengahtengah umat, bukan lagi di institusi korup seperti Bait Suci yang dikendalikan oleh Mahkamah Agung yang munafik karena bekerjasama dengan imperium Romawi dalam mengeksploitasi ekonomi. Visi Salib Yesus itulah yang perlu dimaknai ulang sebagai titik pijak perjuangan melawan ketidakadilan.
Lalu apa yang bisa kita pelajari, bagi iman kita di masa kini?
Menghidupi komunitas alternatif. Di dalam situasi masyarakat masa kini yang memungkinkan konflik horizontal dan polarisasi itu makin besar terjadi, orang Kristen perlu menjadi teladan menghidupi komunitas alternatif.
Murid Kristus pada masa kini perlu menjadi pelaku dan penyuara suara kenabian kepada praktik-praktik ketidakadilan ruang hidup. Kampanye publik dan edukasi secara berkelanjutan adalah cara terbaik untuk penyadaran warga gereja.
Integrasi antara iman kepada Yesus ini dengan berbagai ilmu serta profesi masing-masing. Kita perlu membangkitkan para pembela keadilan ruang hidup, yang berprofesi sebagai arsitek, pengusaha, teknik lingkungan, pekerja kreatif, buruh, pangan, pertanian dll.
Pertanyaan Refleksi
- Ketidakadilan ruang hidup seperti apakah yang sering kita lihat terjadi di sekeliling kita? Mulai dari lingkup profesi/ilmu kita masing-masing?
- Apa yang bisa kita lakukan untuk ‘menjadi garam dan terang dunia’ di dalam konteks ketidakdilan ruang hidup?
*Disampaikan dalam acara diskusi “Yesus dan Keadilan Ruang Hidup” yang diselenggarakan Kristen Hijau di Pamelan Cafe Surabaya, 22 Mei 2017.