Oleh: Lydialaura Utomo (alumnus fakultas teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Calon pendeta GKI Diponegoro, Surabaya)

Barangkali kita hampir jenuh menonton berita di televisi tentang polemik proyek reklamasi di Jakarta. Proyek ini sudah berlangsung kurang lebih sepuluh tahun. Artinya, pemerintah yang sudah-sudah juga turut terlibat. Selain di Jakarta, proyek reklamasi juga dilakukan di Tangerang, Bekasi dan Bali. Reklamasi dilakukan dengan membuat daratan baru di sekitar wilayah laut. Proyek reklamasi tidaklah mudah. Juga tidak murah. Proyek reklamasi harus betul-betul mempertimbangkan dampak lingkungan, sebab jika dilakukan dengan sembrono akan merusak lingkungan sekitarnya.

Proyek penambahan lahan dilakukan karena peningkatan kebutuhan lahan untuk pemukiman dan usaha. Jumlah penduduk terus bertambah, tetapi luas lahannya tidak. Mengenai hal ini, tidak ada salahnya mengapresiasi pemerintah orde baru yang telah mencanangkan program dua anak cukup sehingga laju pertumbuhan penduduk masih terkendali. Tanpa program itu barangkali jumlah penduduk Indonesia dua/tiga kali lipat lebih banyak dari sekarang.

Sudah berapa hektare tanah/lahan pertanian yang tadinya sawah sekarang berubah menjadi kawasan permukiman dan kawaan bisnis? Rupanya itu pun masih kurang, sehingga ada wacana reklamasi. Ini situasi yang dilematis memang. Di satu sisi manusia butuh tempat tinggal, di sisi lain manusia juga butuh makanan. Tetapi tentunya dari pada tempat tinggal, makanan masih jauh lebih penting. Penurunan jumlah lahan pertanian juga terjadi karena pencemaran tanah dan pertanian yang tidak ramah lingkungan. Untuk memenuhi kebutuhan pangan, tanah dibebani dengan pupuk-pupuk kimia buatan pabrik agar terus bisa berproduksi. Padahal tanah punya batas kemampuan. Maka, yang perlu kita lakukan adalah memikirkan dengan lebih serius bagaimana seharusnya tanah ini dikelola. Penggunaan tanah dan pengelolaannya memang menjadi hak dan tanggung jawab pemegang sertifikat tanah, tetapi apakah tanah harus selalu dipaksa untuk berproduksi dengan terus menerus ditanami? Apakah tanah akan kita penuhi dengan bangunan-bangunan? Jika semua lahan pertanian berubah untuk lahan permukiman, mau makan apa kita? pasir dan semen?

Sabat bagi Tanah

Membaca Imamat 25 tentang Tahun Sabat dan Tahun Yobel, serasa membaca undang-undang agraria zaman Israel kuna. Sabat bagi Tuhan ternyata tidak hanya bagi manusia dan hewan, tetapi juga bagi tanah. Sabat di sini dilakukan dengan mengistirahatkan tanah pada tahun ketujuh. Tanah boleh diolah dan dimanfaatkan selama enam tahun. Pada tahun ketujuh tanah harus diistirahakan agar tanah punya kesempatan untuk memulihkan diri. Kalaupun ada tanaman yang tumbuh tanpa diolah, hasilnya harus dinikmati banyak orang. Artinya sudah sejak dulu bangsa Israel menyadari bahwa tanah punya batas kemampuan. Tanah tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang dan diperas sampai batas terakhir kemampuannya. Tanah harus diberi waktu untuk memperbaharui dirinya dengan begitu tanah tidak kehilangan kesuburannya. Pada tahun Yobel atau tahun kelimapuluh tanah harus dibebaskan.

Bangsa Israel rupanya tidak memisahkan antara iman kepada Tuhan dengan tanggung jawab melestarikan alam. Sekalipun tanah telah dibagi-dibagi berdasarkan suku-suku Israel, bukan berarti tanah itu menjadi milik manusia secara mutlak. Bagi bangsa Israel, tanah adalah milik Tuhan yang dianugerahkan kepada manusia.

Imamat 25:23 menyatakan “Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku. Oleh karena itu dalam pengelolaannya manusia juga bertanggung kepada Tuhan. Perlakuan terhadap tanah menunjukkan bagaimana sikap manusia terhadap Sang Pemilik tanah, yaitu Tuhan. Ada dua prinsip pengelolaan tanah yang terlihat dalam aturan Tahun Sabat dan Tahun Yobel, yaitu prinsip keadilan sosial dan dan kelestarian alam. Dengan pemberlakuan aturan tersebut, maka kita dapat melihatnya sebagai bagian dari karya penyelamatan Tuhan atas bumi.

Menarik juga menyelami aturan tentang tanah yang diberlakukan oleh Bangsa Israel. Barangkali ini bisa menginspirasi undang-undang agraria di Indonesia. Bukan berarti harus menerapkan aturan yang sama persis. Tetapi bisa mempertimbangkan prinsipnya. Dengan demikian penggunaan tanah untuk aktivitas apa pun semestinya mempertimbangkan prinsip keadilan sosial dan kelestarian alam.

Tanah juga butuh istirahat.

*Pernah dimuat sebelumnya di hanaksara. Dimuat kembali atas seizin penulis dan pengelola web.