Leave a comment

Oleh: Calvin Wu (mahasiswa STTRI)

Pendahuluan

Dalam kesempatan ini, kita akan membahas satu topik/tema tentang “Sikap Orang Kristen terhadap Ciptaan Lain.” Jadi, kita akan melihat apa yang dikatakan Alkitab mengenai ciptaan lain, dan seperti apa respons kita terhadap ciptaan lain.

Pada waktu kita melihat Roma 8:19-22, kita harus mulai gelisah dan bertanya-tanya, “Apa yang ada di dalam pikirkan Paulus ketika ia menuliskan teks ini? Mengapa Paulus merasa perlu menuliskan ini?” Kalau kita perhatikan, surat Roma seringkali identik dengan topik-topik yang sifatnya doktrinal, seperti: kebenaran Allah; kejatuhan manusia yang membuahkan dosa; pembenaran oleh iman; hidup menurut Roh. Tetapi, tiba di pasal 8 ini, di tengah pembahasan Paulus mengenai status sebagai anak-anak Allah, tiba-tiba saja Paulus mulai menyingkapkan suatu realitas lain yang berbeda dari kita sebagai manusia, yakni realitas yang terjadi atas ciptaan lain. Nampaknya, Paulus sedang berusaha memberikan kesadaran kepada jemaat di Roma, bahwa antara status jemaat sebagai anak-anak Allah dengan ciptaan lain, sebenarnya adalah status yang saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan. Tetapi, untuk dapat memahami seperti apa keterkaitan yang dimaksud, adalah baik jika kita mulai dari sebuah pertanyaan mendasar, “Mengapa kita disebut sebagai anak-anak Allah?”

Dalam Yohanes 1:12 dituliskan, “Setiap orang yang menerima-Nya [Kristus] diberi kuasa untuk menjadi anak-anak Allah.” Artinya, setiap kita yang sudah percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan, maka dosanya diampuni, dibenarkan, dan diadopsi menjadi anak-anak Allah. Dengan kata lain, status kita yang dulunya adalah hamba dosa, sekarang disebut sebagai anak Allah. Berbicara mengenai status sebagai anak-anak Allah, biasanya status ini digambarkan ke dalam bentuk suatu relasi antara bapak dengan anak. Misalnya saja, dalam perumpamaan anak yang hilang, dikisahkan ada seorang ayah yang tinggal dengan dua anaknya. Suatu hari anak bungsu hendak meminta warisan dari bapaknya. Akhirnya, bapak itu memberikan warisan kepada anak bungsu, dan anak bungsu ini pergi ke negeri lain untuk menghabiskan seluruh warisannya. Menarik sekali, jika kita melihat dalam Galatia 4, rupanya kita mendapati suatu kebenaran yang nampaknya agak mirip, bahwa karena kita adalah anak-anak Allah, maka kita pun berhak menerima warisan dari Allah. Itu sebabnya, kita disebut sebagai ahli waris.

Masalahnya, berbicara tentang ahli waris, “Warisan apa yang Allah titipkan dalam hidup kita?” Saya percaya sekali bahwa kebanyakan orang Kristen salah kaprah dan terus berpikir bahwa warisan yang dimaksud dalam Alkitab berbicara tentang suatu tempat yang disebut sebagai sorga. Itu sebabnya, setiap kali memikirkan tentang keselamatan dan tema-tema kekekalan, pasti yang pertama kali ada dalam pikiran orang-orang Kristen adalah bagaimana kita bisa escape from earth to heaven. Seolah-olah hidup kita di dunia ini hanya sekadar “numpang lewat,” seperti sebuah hymn yang sering kita nyanyikan, “This world is not our home.” Dengan kata lain, setiap kita diajak untuk mengimani bahwa hidup yang sesungguhnya adalah suatu kehidupan setelah kematian, suatu kehidupan di sorga yang jauh di sana, sehingga segala masalah yang terjadi di dalam bumi bukan lagi urusan kita!

Saya percaya sekali bahwa konsep demikian bisa jadi ada benarnya. Tetapi, konsep tersebut masih belum utuh seperti yang diajarkan di dalam Alkitab. Alkitab mengajarkan bahwa pengharapan eskatologis kita bukanlah sebatas ketika kita mati, jiwa/roh kita dibawa pergi ke suatu tempat yang disebut sorga. Dalam Wahyu 21 ditegaskan bahwa pengharapan eskatologis kita adalah tentang langit dan bumi yang baru, Yerusalem Baru, suatu pemerintahan Allah yang turun dari sorga ke bumi. Jadi artinya, setelah kita mati, betul bahwa kita akan pergi untuk hidup bersama Kristus, dengan kondisi tubuh/daging tetap mati. Namun, ini bukanlah akhir dari kehidupan kita. Seorang ahli Perjanjian Baru, N. T. Wright, pernah menuliskan bahwa kehidupan sesungguhnya adalah “life after ‘life after death,’” bukan “life after death” saja! Maksudnya, perjalanan panjang kita sebagai anak-anak Allah baru dapat dikatakan selesai, jika kita mendapatkan kebangkitan tubuh. Ketika Tuhan Yesus datang kedua kali, tubuh kita yang lama ini, yang penuh dosa, akan diperbaharui dan direstorasi menjadi suatu tubuh yang baru tanpa cela dan dosa. Barulah setelah itu, kita akan hidup di bawah pemerintahan Kristus dalam langit dan bumi yg baru. Jadi, sekali lagi berbicara mengenai status sebagai anak-anak Allah yang mendapatkan warisan dari Allah, warisan kita bukanlah sorga seperti yang kita pikirkan dahulu – mission to escape from earth – melainkan bahwa kita, beserta seluruh bumi dengan isi dan ciptaan yang ada, akan diperbaharui dan direstorasi.

Lalu, kalau memang benar bahwa warisan kita adalah tentang suatu pembaharuan, suatu restorasi yang terjadi atas seluruh ciptaan, suatu langit dan bumi yg baru, “Atas dasar apa dan untuk tujuan apa Allah mewariskannya kepada kita?” Oleh karena, barangkali sebagian besar orang-orang Kristen tidak pernah benar-benar peduli, tidak pernah benar-benar memikirkannya, apalagi menginginkannya. Yang selalu dipikirkan mengenai keselamatan adalah bahwa “Aku ini sudah percaya kepada Tuhan Yesus, dan aku yakin pada waktu mati, aku pasti masuk sorga!” Barangkali amat jarang ada yang memikirkan pembaharuan atas ciptaan lain, dan bergumul secara serius, “Benar aku ini selamat, tetapi pengharapanku dalam Kristus bukan hanya tentang diriku sendiri, melainkan juga tentang seluruh ciptaan yang harus diperbaharui, yang harus direstorasi.”

Christopher Wright pernah menuliskan sesuatu yang menarik tentang bagaimana orang Kristen melihat Alkitab. Kalau kita perhatikan, sebenarnya Alkitab selalu dibuka dan ditutup dengan penciptaan. Dibuka dengan perkataan: “Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi,” lalu ditutup dengan penglihatan agung: “Lalu aku melihat langit yg baru dan bumi yg baru.” Tetapi sayangnya, masih banyak orang Kristen yang lebih senang jika Alkitab dibuka dari Kejadian 3 dan diakhiri dengan Wahyu 20. Akibatnya, berita Injil, berita keselamatan hanya dipandang dari sisi umat manusia, dan direduksi menjadi suatu konsep yang sifatnya antroposentris. Seorang profesor systematic theology di Gordon-Conwell Theological Seminary, John J. Davis, pernah menulis sebuah artikel yang intinya untuk melihat adanya blind spots dalam buku-buku systematic theology yang pernah ditulis oleh orang-orang Injili. Sangat mengejutkan! Ia mendapati bahwa sebagian besar dari buku-buku systematic theology yang membahas tentang doktrin creation dan atonement, seperti: Donald Bloesch; Dale Moody; Millard Erickson; sampai ke Wayne Grudem, baru ada sedikit sekali, bahkan sebagian besar 0% yang berbicara tentang doktrin creationatonement dan mengaitkannya dengan sudut pandang seluruh ciptaan. Maka, ini boleh jadi semacam masalah bagi kita, bahwa banyak orang-orang Injili, tidak pernah dipersiapkan untuk memikirkan, bersusah payah, dan bergumul untuk ciptaan lain. Itu sebabnya, kita perlu mulai memikirkan ulang, seperti apa kisah penciptaan yang diajarkan dalam Alkitab?

 

Penciptaan

Berbicara mengenai penciptaan, Alkitab menyatakan bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu melalui firman dan Roh-Nya. Maka, dunia yg ada, adalah dunia yg dicipta menurut kehendak Allah. Tidak ada satu keberadaan pun dari seluruh yang ada di dalam semesta ini berada di luar kehendak Allah. Itu sebabnya, pada waktu Allah menciptakan seluruh ciptaan, Allah melihat bahwa segala yang dijadikan-Nya itu baik. Setelah menciptakan ciptaan lain, maka Allah mulai menciptakan manusia. Pada waktu manusia dicipta, manusia dicipta dengan dimensi khusus. Manusia dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Dicipta menurut gambar dan rupa Allah setidaknya memiliki dua makna: Pertama, karena manusia dicipta menurut gambar Allah, maka manusia diberikan jalur khusus untuk bisa berelasi secara personal dengan Allah; Kedua, dicipta menurut gambar Allah menyatakan adanya otoritas yang diberikan Allah atas manusia. Menarik sekali, di zaman kuno biasanya raja-raja akan mendirikan patung diri mereka yang besar di penjuru terjauh dari wilayah kekuasaannya. Dari patung-patung besar tersebut, orang-orang bisa mengingat siapa raja mereka, apa status mereka, dan kepada siapa mereka harus berbakti. Demikian dengan kita, sebagai manusia yang dicipta menurut gambar Allah, setiap hari, setiap saat, selama kita hidup, kita selalu membawa gambaran Pencipta kita.

Selain dicipta menurut gambar Allah, rupanya masih ada dimensi lain yang membedakan manusia dari ciptaan lain, yakni: diberikan kuasa atas ciptaan lain. Menjadi masalah, banyak orang berpikir bahwa diberikan kuasa adalah berarti diberikan hak penuh untuk mengeksploitasi ciptaan lain. Tentu ini keliru! Kita perlu membedakan bahwa antara dominion dengan domination itu tidak sama. Diberikan kuasa atas ciptaan adl berarti dominion, bukan domination. Kalau domination berbicara tentang suatu kontrol penuh, otoritas yang absolut, kebebasan untuk berkuasa secara tidak terbatas dan melakukan segala sesuatu yang diinginkan. Berbeda, dominion berbicara tentang suatu privilege dan responsibility. Disebut privilege, karena manusia diberikan kuasa untuk memberi nama atas binatang-binatang, memelihara taman Eden, dan diperbolehkan untuk memakan berbagai buah yang ada di dalam taman tersebut, kecuali buah dari pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Pengecualian dan larangan ini seharusnya mengingatkan kepada setiap kita, manusia, bahwa otoritas, dan hak yang diberikan Allah untuk berkuasa tidak pernah bersifat absolut, tidak pernah bersifat penuh, dan harus dipertanggung jawabkan di hadapan Tuhan. Jadi, kita perlu sekali menyadari bahwa diberikan kuasa/dominion adalah berarti suatu privilege, sekaligus responsibilityPrivilege karena diberikan kepercayaan atas ciptaan lain. Responsibility karena harus mengelola ciptaan lain, bukan mengeksploitasinya.

Sekalipun manusia dicipta menurut gambar Allah, dan diberikan kuasa atas ciptaan lain, rupanya hal tersebut tidak pernah sepenuhnya berarti bahwa manusia berbeda dari ciptaan lain. Kejadian 2 menyatakan bahwa manusia dibuat dan dibentuk dari debu tanah. Dicipta dari debu tanah menyadarkan kepada kita, bahwa manusia hanyalah salah satu makhluk dari makhluk ciptaan lain yang sama-sama diciptakan Tuhan. Maka semestinya, seluruh kehidupan di bumi, baik manusia dan ciptaan lain, punya relasi yang saling terkait, dan saling mempengaruhi. Sayangnya, realitas menyatakan sebaliknya. Banyak orang menganggap dirinya sebagai pusat dari seluruh ciptaan. Mereka menganggap bahwa dunia yang dicipta Allah adalah dunia yang dicipta hanya untuk kepentingan manusia. Akibatnya, tidak salah jika manusia lebih sering menganggap rendah ciptaan lain. Kita yang harusnya dominion – punya tanggung jawab untuk memelihara dan menjaga ciptaan lain – malah domination – merasa berkuasa penuh dan berhak mengeksploitasi seluruh ciptaan sesuai kehendak sendiri. Padahal, Allah menciptakan setiap ciptaan dengan tugas dan fungsinya masing-masing, dan tidak harus selalu untuk kepentingan manusia.

Maka, alam ciptaan yang adalah general revelation/penyataan diri Allah secara umum, suatu God’s self-expression, terus-menerus dirusak dan dieksploitasi oleh manusia, bahkan tidak sedikit pelakunya adl orang-orang Kristen. Padahal, pada waktu manusia merusak ciptaan lain, manusia bukan hanya sedang mengganggu dan merugikan ciptaan lain, lebih daripada itu, manusia sedang merusak wahyu Allah, tempat di mana Allah memancarkan kemuliaan-Nya. Mazmur 24 menyatakan, “TUHAN yang mempunyai bumi dan segala isinya.” Tetapi apa realitasnya? Berapa banyak ciptaan Allah yang sudah terancam, langkah, bahkan telah punah selamanya di muka bumi? Betul bahwa, “Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya.” Tetapi, apa yang akan diceritakan langit, jika kebanyakan kota, langitnya tertutup oleh polusi asap yg tebal? Mazmur 98 menyatakan, “Biarlah sungai-sungai bertepuk tangan dan gunung-gunung bersorak-sorai.” Tetapi, bagaimana mungkin gunung dan sungai bisa menyembah, jika ada banyak gunung yang gundul, dan gersang, serta air di sungai sudah tercemar?

 

Dosa

Mengapa semua ini bisa terjadi? Kita harus sadar bahwa sejak kejatuhan Adam dan Hawa ke dalam dosa, maka hubungan antara Allah dengan manusia terputus, hubungan manusia dengan sesamanya terputus, dan hubungan manusia dengan ciptaan lain terputus. Maka, dosa tidak hanya berbicara sebatas personal sin – dosa manusia sebagai individu yang menyebabkan perasaan guilty – dosa juga berbicara tentang systemic sin – sistem ekologi yang sudah Allah atur sedemikian rupa, sekarang telah terganggu, sehingga tidak ada lagi keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan dalam tatanan ciptaan Allah. Tidak heran, manusia menyerang, menangkap, lalu membunuh ciptaan lain. Sebaliknya, ciptaan lain berbalik menyerang, merugikan, bahkan mematikan manusia. Akibat systemic sin, tidak ada lagi shalom di dunia ini. Akibat systemic sin, manusia tidak lagi mampu melihat ciptaan lain – binatang, hutan, sungai, laut, langit – sebagaimana Allah Sang Pencipta melihatnya. Dapat dikatakan, keadaan alam nampak lebih menyedihkan daripada keadaan manusia. Manusia telah berdosa dengan sengaja, tetapi dengan tidak sengaja alam mengalami dampaknya. Roma 8 menyatakan, “Seluruh makhluk ditakhlukkan pada kesia-siaan. . . . Seluruh makhluk mengeluh dan merasakan sakit bersalin.”

 

Penebusan

Sekarang pertanyaannya, “Bagaimana sikap Allah terhadap ciptaan? Benarkah Allah mengasihi seluruh ciptaan-Nya?” Memang, kalau kita perhatikan di dalam Alkitab, sikap Allah terhadap ciptaan lain sebenarnya agak ambivalen. Tuhan Yesus tidak pernah secara eksplisit mengajarkan kasih kepada tumbuhan dan hewan. Yesus bahkan tidak pernah terlibat dalam isu lingkungan. Ia sendiri mengutuk pohon ara! Tetapi aneh sekali, di saat yang sama, Yesus juga sering menggunakan contoh-contoh ciptaan lain. Ia memakai perumpamaan benih, Ia memakai gambaran gembala domba, Ia memakai contoh penjala ikan, Ia meminta agar kita melihat bunga bakung dan burung pipit, orang malas diminta mengamati semut.

Itu sebabnya, saya percaya bahwa Allah yang telah menciptakan seluruh ciptaan dan menilai baik seluruh ciptaan, adalah Allah yang mengasihi seluruh ciptaan-Nya. Dalam Kejadian 6-9 berbicara tentang perjanjian TUHAN dengan Nuh. Setelah TUHAN menurunkan air bah, TUHAN berfirman kepada Nuh dan anak-anaknya, “Aku mengadakan perjanjian-Ku dengan kamu dan dengan keturunanmu, dan dengan segala makhluk yang bersama-sama dengan kamu. . . . Sejak ini tidak ada yang hidup yang akan dilenyapkan oleh air bah, dan tidak akan ada lagi air bah untuk memusnahkan bumi.” Lalu TUHAN menaruh busur di atas awan sebagai tanda perjanjian antara TUHAN dengan bumi. Dengan demikian, dari sini kita bisa melihat, bahwa Allah sangat peduli dengan ciptaan-Nya, Allah berkomitmen dengan ciptaan-Nya, Allah mengasihi seluruh ciptaan-Nya!

Yohanes 1 menyatakan kepada kita bahwa, “Yesus Kristus yang adalah Firman itu, telah mencipta segala sesuatu. Segala sesuatu telah dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yg telah jadi.” Allah yang menciptakan dunia dengan segala isinya adalah Allah yang memilih inkarnasi di dalam dunia ciptaan-Nya. Dunia yang dicipta menjadi konteks dari inkarnasi Allah. Di tengah-tengah kerusakan, kehancuran, dan penderitaan yang terjadi dalam dunia dan seluruh ciptaan, Allah inkarnasi! Allah memilih untuk diam, hadir, dan berkemah di tengah-tengah seluruh ciptaan-Nya. Dengan cara demikian, Allah masuk dan merasakan sendiri kerusakan ciptaan di bumi. Inilah bukti betapa Allah mengasihi seluruh ciptaan-Nya! Kolose 1 menyatakan, “Oleh Dialah, Allah memperdamaikan segala sesuatu, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga. Semua itu diperdamaikan-Nya melalui darah salib Kristus.” Ini artinya, salib Kristus tidak hanya merekonsiliasi para pendosa dengan Allah. Salib Kristus tidak hanya merekonsiliasi manusia dengan sesamanya. Salib Kristus merekonsiliasi seluruh ciptaan dengan Allah! Itu sebabnya, Salib Kristus bukan hanya kabar baik bagi manusia berdosa. Salib Kristus adalah kabar baik bagi seluruh ciptaan. Segala ciptaan diperdamaikan oleh salib!

Memang betul bahwa seluruh manusia sudah jatuh ke dalam dosa. Betul bahwa seluruh ciptaan telah ditakhlukkan di bawah kesia-siaan. Tetapi, itu belum menjadi akhir dari segalanya! Roma 8 menyatakan bahwa, “Seluruh makhluk, seluruh ciptaan, menanti dalam pengharapan akan dinyatakannya anak-anak Allah.” Apa maksud ayat ini? Sekali lagi, sebagai anak-anak Allah, warisan yang diberikan Allah bukan agar kita escape to heaven. Bukan! Itu bukan konsep yang utuh dalam Alkitab. Dengan tegas, Christopher Wright menyatakan, “Kita tidak ditebus di luar ciptaan. Kita ditebus sebagai bagian dari ciptaan.”

Sebagai anak-anak Allah setiap kita dipanggil bukan untuk lari dari dunia, kita dipanggil bukan untuk pergi ke satu tempat yang disebut sebagai sorga. Setiap kita dipanggil untuk menghadirkan sorga dalam dunia ini. Tidak mungkin Tuhan yang mencipta dan yang berkata “baik” kepada ciptaan-Nya, adalah Tuhan yang akan menyampahkan seluruh ciptaan-Nya. Janji Tuhan bagi kita adalah janji pembaharuan, suatu janji restorasi atas seluruh ciptaan, sehingga Yerusalem Baru – pemerintahan Allah – hadir di tengah-tengah dunia. Tidak heran, Tuhan Yesus pernah mengajar para murid-Nya untuk berdoa, “Datanglah kerajaan-Mu jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Melalui kehadiran kita, yang adalah gambar Allah, kita diminta untuk menjadi reflektor kemuliaan Allah bagi ciptaan lain. Hanya dengan cara demikian, seluruh ciptaan boleh menerima janji Allah, sehingga segala yang ada di langit, segala yang ada di atas bumi, segala yang ada di bawah bumi, manusia dan seluruh ciptaan, boleh benar-benar bertekuk lutut dan mengaku bahwa Yesus Kristus adalah Sang Raja, Sang Tuhan, Sang Pencipta, Sang Penguasa, Sang Pemelihara ciptaan-Nya!

 

Penutup

Seorang penulis lagu yang juga adalah seorang hamba Tuhan di Inggris, namanya Isaac Watts. Suatu kali dia menulis sebuah lirik yang sangat indah, dan kemudian lirik ini dipersatukan dalam suatu alunan melodi megah yang digubah oleh George Frederich Händel. Lirik ini berbunyi, “Joy to the world, the Lord is come! Let earth receive her King. Heaven and nature sing, heaven and nature sing, heaven and nature sing!” Lirik yg indah, bukan?

Hari ini kita belajar bagaimana sikap orang Kristen dalam menghadapi realitas ciptaan lain. Kita harus menyadari bahwa keberadaan kita sebagai manusia adalah bagian dari “the whole community of creation.” Allah begitu mengasihi manusia, dan Ia juga peduli dengan seluruh ciptaan-Nya. Allah tidak memanggil kita untuk menjadi radical environtmentalist yang menghidupi spirit “biocentric equality,” suatu kesetaraan hak untuk seluruh makhluk. Kita mengasihi ciptaan lain, karena Allah mengasihi seluruh ciptaan-Nya, sehingga Dia memilih inkarnasi ke dalam dunia untuk memperbaiki relasi yang rusak dengan ciptaan, supaya seluruh ciptaan dapat diperbaharui dan direstorasi melalui kehadiran kita. Dalam suatu bahan kuliah yang diampu oleh John Stott pada tahun 1997, ia pernah menyampaikan suatu prinsip “discipline double listening.” Bagi Stott, sebagai orang-orang Kristen, kita harus disiplin dalam mendengarkan. Ada dua macam disiplin mendengarkan yang ia maksud, yakni: disiplin mendengar firman; dan disiplin mendengar dunia. Listening to the word and listening to the world. Keduanya ini tidak boleh dipisah-pisah, dan harus selalu dilatih.

Sebagai orang-orang Injili, barangkali kita cukup lihai dalam mendengarkan firman, tetapi itu belum cukup! Kita perlu mendisiplinkan diri untuk mendengarkan dunia. Kita belajar firman untuk dunia, belajar melihat dunia menurut kebenaran firman. Pertanyaannya, kapan terakhir kali kita mendengarkan dunia? Dunia ini terus-menerus berteriak. Berbagai masalah lingkungan terus berteriak kepada kita: polusi udara; climate changeanimal abuse; deforestasi; limbah plastik; eksploitasi tambang; kekeringan air; dsb. Maukah kita terbeban mendengarkan mereka? Sampai di sini firman Tuhan disampaikan. Kiranya Tuhan terus memberkati orang-orang yang secara serius mulai bergumul, berjuang, dan bersusah payah menghadirkan keadilan Allah atas seluruh ciptaan-Nya. Amin.