Oleh: Johan Tampubolon (mahasiswa pascasarjana Institut Injil Indonesia, Batu)

Isu mengenai lingkungan hidup dalam kekristenan Injili di Indonesia belum menjadi topik yang serius untuk diperbincangkan. Apalagi aliran Injili konservatif, seperti yang diklasifikasi oleh Roger Olson, menganggap bumi ini telah ditentukan untuk hancur binasa. Kehancuran bumi akan tiba saat Injil telah diberitakan kepada semua orang. Mereka berlomba untuk memberitakan Injil dan memalingkan muka dengan berbagai persoalan lingkungan. Tidak hanya yang konservatif, survey yang dilakukan di Amerika menunjukkan bahwa kaum Injili umumnya cenderung tidak peduli dengan persoalan lingkungan. Dan saya rasa kenyataan inipun sama seperti di Indonesia.

Namun, ada secercah cahaya dengan kepedulian sejumlah tokoh Injili di Amerika untuk mengangkat isu ini sebagai perbincangan penting. Orang Injili menurut mereka memiliki kontrubusi yang besar untuk mempengaruhi kebijakan publik yang terkait dengan isu lingkungan. Sayangnya yang tersadarkan baru sebagian kecil. Akibatnya, orang Injili disana sebagian besar berpihak pada Donald Trump ketika pemilihan presiden, presiden yang tidak percaya pemanasan global.

Contoh persoalan lingkungan di Indonesia adalah berkurangnya sumber mata air di kota Batu. Dari sekitar seratus lebih sumber mata air menyusut menjadi kurang dari 50 titik mata air. Tidak heran masyarakat di sekitaran Gemulo menolak pembangunan hotel di lingkungan sumber air tersebut. pembangunan yang dapat berdampak pada penyusutan debit air. Pembangunan yang semakin memperkecil jumlah titik mata air di kota batu.

Apa jadinya jika manusia hidup tanpa air? Sehabis makan saja kita tak terbiasa tanpa meneguk segelas air. Mandi -tidak mungkin tanpa air- juga sudah jadi ritual keseharian. Sebagian besar tubuh kitapun terdiri atas air. Manusia tanpa air tentu tidak akan bertahan hidup. Namun, manusia bisa hidup tanpa nilai lebih yang diperoleh dari pembangunan hotel.

Lingkungan hidup dan kemanusiaan tentunya berkaitan erat. Rusaknya alam maka berdampak pula pada kehidupan manusia. Allah sendiri telah berpesan agar memelihara bumi ciptaanNya. Pesan untuk mengasihi sesama dalam Injil tentu juga menjadi aneh dengan tidak pedulinya kita terhadap lingkungan hidup. Tidak perlu pandangan hirearkis dalam ciptaan Allah, yang meninggikan derajat manusia dibandindingkan ciptaan lain, dilenyapkan. Cinta terhadap alam adalah wujud cinta terhadap Allah dan sesama manusia.

Mengharapkan bergesernya isu kepada persoalan lingkungan dalam dunia Injili mungkin juga akan membutuhkan waktu. Contohnya saja ketika interpretasi dan inspirasi berteologi Asia dan negara belahan dunia ketiga lainnya mulai sadar untuk mandiri, kaum Injili sendiri masih memuja superioritas Barat. Ini terlihat dari kurangnya suara-suara dari Asia yang terlibat dalam konferensi Injili sedunia pada awal abad ke-20. kemudian dapat terlihat juga dari keterlibatnya Injili dalam isu kemanusiaan. Keterlibatan tersebut dapat dikatakan telat. Ketika dunia telah terdampak oleh berbagai bencana kemanusiaan, perang merajalela, kesenjangan sosial, fasisme menggelora, kaum Injili yang baru menunjukkan sikap kepeduliannya di konferensi Lausanne pada 1974. Kali ini isu bergeser lagi ke persoalan mengenai kerusakan lingkungan, harapan untuk kaum Injili terlibat saat ini ibarat pertanyaan Filipus kepada Natanael ketika ia mengatakan telah menemukan mesias: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazareth?”