Oleh: Jevin Josua Sengge (mahasiswa praktek 1 tahun di GKKA Surabaya dari STT Amanat Agung Jakarta)
“Jika semua pohon telah habis dipotong. Jika semua ikan telah habis dimakan. Kita perlu tahu bahwa kita tidak bisa makan uang.”
Limau. Siang itu.
“Gbrakkk!!” (bunyi benda jatuh)
“Bunyi apa itu?” Tanya saya kepada pak Kia. “Itu suara pohon om. Pohon pak Mentari kabarnya sudah dijual ke perusahaan X. Katanya bakal dijadikan perusahaan produksi.”
“Wah, sayang sekali ya… lalu mau dapat penghasilan dari mana kalau gak punya karet lagi?”
“Dia masih punya beberapa lahan di belakang rumahnya (sambil menunjuk). Katanya mau dibuka kebon buat tanam sayur-sayuran. Kemarin ngajak saya ke sana…” jelas pak Kia.
“Kira-kira berapa harga jual lahan pak Mentari pak?” Tanya saya. “Kurang tahu om… tapi dengar dengar kecil jumlahnyo. Yah, mau bagaimana lagi om, orang lagi butuh duit.”
Ngabang. Sore itu.
Saya diminta pak Kia menemani beliau ke kota untuk menjual karetnya. Saya terkejut sekali dengan harga karet yang relatif kecil. Tidak masuk akal. Karet sekilo hanya dihargai Rp. 9.000, -. Pada hal pembuatan karet bisa memakan waktu dua hari proses. Mana mungkin penghasilan Rp. 126.000, – dapat membiayai seorang istri dan satu orang anak.
Pak Kia sempat bercerita bahwa karet dahulu sempat dihargai cukup mahal yakni Rp.30.000,-. Tapi kian hari jumlah itu semakin menurun dari Rp.20.000,- menjadi Rp.15.000,- hingga (waktu itu) Rp.9.000,- saja. Hanya namanya juga masyarakat kecil, mana punya daya untuk protes.
Asal-muasal Kerusakan Lingkungan
Kira-kira begitulah sepenggal kisah yang pernah saya alami ketika mengikuti program “Live In” dari kampus untuk tinggal di daerah pedalaman KalBar, di Limau. Sebuah dosa kolektif mendapat lahan subur di sana. Beberapa orang pemilik modal memanfaatkan rakyat kecil tak bergelar pendidikan untuk menjalankan kepentingan mereka. Dan setidaknya mereka telah berhasil menghancurkan dua hal :
- Dibangunnya pabrik-pabrik industri akan membuat hutan mengalami kecacatan. Hewan mati. Udara bersih berkurang. Kehidupan masyarakat menjadi sulit. Mengutip penglihatan profetik Celia Deane-Drummond, ahli botani pertanian yang kemudian berpindah fokus ke bidang teologi mengatakan,
“Akhir abad ini diperkirakan sejuta jenis binatang, tumbuhan, dan serangga terancam punah akibat kegiatan manusia. Tahun 2050 setengah dari spesies yang ada akan hilang selama-lamanya. Penurunan jumlah spesies yang mengerikan ini akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Keadaan ini juga merupakan kehilangan tragis potensi genetik dari planet bumi. Diperkiran bahwa antara 5-200 spesies hilang.” (Drummond, Teologi & Ekologi, 5.)
- Ekonomi masyarakat kecil menjadi sulit. Hilangnya hutan berarti hilang juga pekerjaan mereka. Penghasilan berkurang. Sulit untuk mengembangkan usaha lainnya karena modal yang tidak memadai. Satu-satunya jalan keluar adalah melakukan pinjaman pada pemilik modal.
Jika demikian, bagaimana sudah kelanjutan kehidupan mereka? Menurut hemat saya, masalah ini belum terlambat untuk diperangi. Tiga saran ini mungkin bisa menjadi penolong dalam menghadapi masalah ini.
1. Memajukan Pendidikan
Di Limau ada sebuah SD yang dibangun di sana. Namun karena akses yang sulit, guru-guru sulit untuk dapat mengajar secara rutin. Apa lagi jika hujan sudah turun. Akses ke sana akan semakin sulit. Maka itu tidak heran jika sekolah sering diliburkan. Kesulitan mengajar di sana juga disebabkan oleh upah minimum yang kecil. Belum lagi hanya sedikit guru-guru yang tergerak untuk membawa pendidikan di sana.
Anak tetangga disebelah rumah yang saya tinggali berumur 11 tahun. Ia masih mendekam di kelas 4 SD karena tidak naik-naik kelas. Buta huruf berikut kebodohan ternyata masih menjadi isu yang pelik di sana. Mereka juga kurang bersemangat untuk bersekolah karena tidak memiliki Role Model. “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi atau pergi belajar di kota, toh kita hanya pengen nikah secepatnya lalu ngelanjutin ladang orangtua om.” Kata mereka.
“Minim pengetahuan” inilah yang menyebabkan masyarakat gampang dimanipulasi. Pendidikan menjadi kebutuhan yang penting. Golongan cendekia butuh menyadari masalah ini. Golongan muda di desa butuh mengalami “Pencerahan” untuk melihat dunia secara lebih luas. Mereka juga butuh diberikan kepercayaan diri untuk menggapai kehidupan yang lebih baik.
2. Pelatihan di dalam bidang pertanian
Masyarakat-masyarakat dewasa juga butuh mendapat pendidikan dan pelatihan untuk mengembangkan kualitas pengelolaan pertanian. Mereka butuh terbuka dengan inovasi-inovasi baru di dalam bidang pertanian. Hal ini dilakukan agar pertanian mereka bisa mengalami perkembangan.
Golongan-golongan cendekia di dalam bidang pertanian butuh mewadahi hal ini. Mutu yang baik dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat di sana. Harapan lainnya adalah pengembangan pertanian yang baik pastinya mendorong keseimbangan SDA. Jika hal ini dikelola oleh masyarakat sendiri, yang sejak turun temurun mengembangkan hutan, pastilah minim terjadi eksploitasi terhadap hutan. Bagi mereka, hutan sudah menjadi bagian dari keluarga mereka.
3. Melawan Kapitalisme berarti menjaga keseimbangan hidup?
Ada indikasi kapitalisme di sana. Meski samar-samar. Namun pegerakannya cukup terlihat jelas. Pemilik modal mulai masuk ke ladang masyarakat dan menawarkan inovasi-inovasi baru yang bisa mereka kembangkan. Asalkan masyarakat mau menjual tanahnya. Janji mereka, setelah ladang mereka beli dan dikembangkan, lapangan pekerjaan juga akan terbuka bagi masyarakat setempat.
Logika kapitalisme yang disebut Rudiyanto : Eksploitasi–Akumulasi–Ekspansi, terlihat di sana. Pemilik modal mulai mencari lahan berikut pekerja untuk mengelola ladang mereka (Eskploitasi). Kemudian hasil ladang akan dijadikan modal untuk pembiayaan dan pengembangan alat-alat produksi (Akumulasi). Ketika persaingan mulai muncul dengan perusahaan lainnya, pemilik modal harus memutar otak untuk mendapat keuntungan lebih. Mereka butuh menekan biaya produksi, mencari daerah investasi baru dan tenaga kerja yang lebih murah (Ekspansi). Ini alamiah terjadi di alam bawah sadar manusia. Masyarakat belajar mengenai pengembangan pertanian dengan inovasi baru ini, namun bukan mereka lagi yang memiliki modal itu. Kesejahteraan yang seharusnya dikeruk oleh mereka, kini dipegang oleh mereka yang disebut “Bos”.
Pengembangan taraf hidup masyarakat tidak seharusnya terjadi demikian. Pengembangan kesejahteraan seharusnya dimiliki oleh masyarakat setempat. Bukan mengeluarkan mereka dari lubang yang lain untuk masuk ke lubang yang lain. Operasi ini dilakukan untuk mengembangkan kesejahteraan masyarakat, bukan tujuan profit. Para pemilik modal mengambil kesempatan yang sama, namun kemudian dikelola demi tujuan profit mereka sendiri. Rudiyanto memberi catatan yang baik yaitu “… produksi diselenggarakan bukan untuk profit, melainkan untuk memenuhi kebutuhan manusia sekaligus menopang sustainability bumi dan kehidupan.” (Rudiyanto, “Ekologi yang Berkeadilan” 8.)