SAPA (Sahabat Alam Papua) didirikan di Kota Jayapura dengan tiga latar-belakang pemikiran. Yang pertama, paradigma berpikir dan perilaku manusia terhadap makhluk lain (roh, benda, tumbuhan, elemen dan hewan), yang mendatangkan malapetaka terhadap kehidupan dan planet bumi. Dualisme (kami dan mereka, kita dan mereka, benda dan manusia, kiri dan kanan, dsb.) serta pemisahan antara manusia dengan makhluk lain, sebagai subyek dan objek, serta manusia dan sumber daya telah mendatangkan malapetaka bagi kehidupan. Setelah menempatkan dirinya sebagai pusat kehidupan, manusia dengan pandangan antroposentrisnya telah mendatangkan malapetaka bagi kehidupan itu sendiri.
Filosofi suku–suku bangsa Papua berhubungan batin secara harmoni di antara benda, makhluk lain dan manusia dalam kehidupannya. Hubungan–hubungan tersebut dijiwai dan dijalani dalam kehidupan sehari-hari. Diekspresikan lewat berbagai media. Terkandung di dalam nilai–nilai adat, norma kehidupan, budaya, dan kearifan bahasa kosmologis.
Nilai–nilai filosofis dalam kehidupan orang Papua mencakup berbagai makna yang mengandung hubungan kosmis antar makhluk yang terlihat dan alam yang tak terlihat. Antara tumbuhan dan hewan, antara manusia dan benda–benda alam seperti tanah, batu, gunung, air dan bentang alam (landscape).
SAPA hadir untuk mengajak masyarakat dan semua stakeholders untuk bersama–sama membangun keseimbangan hidup dengan diri sendiri, dengan sesame makhluk, dan dengan segenap komunitas makhluk serta elemen bumi. Dengan cara saling menyapa satu sama lain melalui bahasa masing–masing berdasarkan nilai–nilai dan budaya yang dimiliki. Dengan begitu keseimbangan hubungan antar makhluk dapat terjaga demi sebuah harmoni kehidupan.
Latar belakang kedua, terkait dengan dinamika hubungan Masyarakat Adat Papua dengan pemerintah di tingkat terbawah hingga tingkat pusat, yang selama ini, entah disengaja atau tidak, ternyata tidak harmonis. Yang paling menonjol adalah ada rasa tidak percaya, ada saling mencurigai, ada hubungan saling tidak tulus dan tidak rela memberi dan menerima dalam interaksi timbal–balik. Banyak Masyarakat Adat Papua memandang pemerintah sebagai penguasa yang hadir untuk menguasai tanah leluhur dan merampok kekayaan alam milik Masyarakat Adat Papua. Di sisi lain, pemerintah memandang Masyarakat Adat sebagai bukti keterbelakangan, penghambat pembangunan, dan tanda kegagalan pemerintah dalam membangun Papua. Oleh karena itu dengan berbagai cara, Masyarakat Adat harus dimodernkan, dan jika perlu direkayasa sehingga menjadi orang Papua yang modern.
Pemerintah memandang Masyarakat Adat sebagai orang yang lugu dan tidak tahu apa yang baik bagi dirinya. Maka setelah menyusun program apa saja yang pemerintah anggap baik lalu dipaksakan kepada Masyarakat Adat untuk dilaksanakan tanpa kompromi. Kalau ada penolakan tanpa kompromi. Kalau ada penolakan, maka pemerintah menganggapnya itu wajar karena pada dasarnya manusia selalu menolak perubahan, apalagi Masyarakat Adat Papua tidak paham mana yang baik bagi dirinya. Yang terpenting dipaksakan dan dilanjutkan, lama-kelamaan toh mereka akan capek sendiri dan tidak berdaya untuk melawan. Pandangan dan pendekatan seperti ini telah menciptakan bom waktu dan semakin memupuk hubungan tidak harmonis antara pemerintah dan Masyarakat Adat Papua.
Latar belakang ketiga, memanfaatkan interaksi pemerintah dan Masyarakat Adat seperti yang diuraikan di atas, maka Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Non-pemerintah (ORNOP) sering hadir ke tengah-tengah Masyarakat Adat Papua dengan agenda – agenda seperti (1). Pemberdayaan Masyarakat Adat; (2). Penguatan (capacity building); (3). Community Development.
Para LSM selama ini hadir dengan bahasa dan langkah keberpihakannya kepada Masyarakat Adat. Dalam hal ini, secara otomatis pemerintah diposisikan sebagai lawan rakyat. LSM tampil sebagai kawan rakyat. LSM tampil sebagai kawan rakyat, aliansi rakyat, pembantu rakyat jelata, bahkan pahlawan bagi masyarakat umum dalam melawan pemerintah. Masyarakat Adat Papua khususnya dan masyarakat Adat pada umumnya di dunia memandang LSM sebagai kawan mereka dan pemerintah sebagai lawan mereka.